Beliau
adalah guru bagi kaum laku-laki, Ash-Shidiqah putri dari Ash-Shidiq seorang
khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abu Bakar
Abdullah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir, Al-Qursyiyah At-Taimiyah. Beliau
adalah istri dari penghulu anak-anak Adam, wanita yang paling dicintai Nabi,
putri dari laki-laki yang paling dicintai[1] yang merupakan obat dari atas
langit yang ketujuh.
Beliau telah
membuktikan kepada dunia sejak 14 abad yang lalu bahwa merupakan perkara yang
sangat mungkin apabila seorang wanita lebih pandai dari kaum laki-laki, baik
dalam urusan politik atau bahkan siasat perang.
Wanita ini
bukanlah merupakan alumnus dari suatu universitas, dan tidak pernah pula
berguru kepada cendikiawan timur dan barat, akan tetapi beliau adalah seorang
murid dan lulusan dari madrasah nubuwah, madrasah iman, dan madrasahnya para
pahlawan. Semenjak masa kanak-kanak dia telah dididik oleh syaikhul muslimin
dan yang paling utama diantara mereka,yakni bapaknya yang bernama Abu Bakar Ash
Shiddiq. Menginjak usia remaja beliau telah dibimbing oleh Nabi umat ini yang
juga gurunya, manusia yang paling mulia dan yang paling utama yakni Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam suaminya.
Maka berkumpullah pada diri beliau
antara ilmu, keutamaan dan bayan yang mana sejarah menjadikan beliau sebagai
obat yang sangat dibutuhkan sepanjang masa. Begitulah jejak-jejak beliau
dipelajari dalam kuliah adab sebagaimana pentingnya nash-nash tentang adab, dan
itulah fatwa-fatwa beliau dibaca menjadi topik pembicaraan di setiap sekolah
sepanjang sejarah Arab dan sejarah kaum muslimin.
Beliau
dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perintah dari
Allah[2] sebagai penghibur setelah wafatnya Khadijah. Rasulullah hendak
menikahi Aisyah dan Saudah dalam waktu yang bersamaan namun kemudian beliau
menikahi Saudah terlebih dahulu hingga setelah selang tiga tahun beliau nikahi
Aisyah pada bulan Syawal setelah perang Badr, maka berpindahlah walimatul
‘ursy yang sederhana ke rumah nubuwah yang baru. Yakni berupa sebuah
ruangan di antara ruangan-ruangan lain yang didirikan di sekitar masjid terbuat
dari batu bata dan beratap pelepah daun kurma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menempatkan atas tidur dari kulit yang berserabut, tiada batas antara
dirinya dengan tanah melainkan tikar, dan pada pintu masuk beliau tutup dengan tabir.
Di dalam
rumah yang sederhana inilah Aisyah radhialahu ‘anha memulai kehidupannya
sebagai seorang istri secara syah yang akan dicatat oleh sejarah. Menjadi
seorang istri adalah pekerjaan utama bagi wanita, dan sesungguhnya di antara
tujuan utama seorang wanita adalah menjadi seorang istri dan seorang ibu. Hal
itu tak dapat dielakkan sedikitpun sekalipun dia adalah seorang wanita yang
memiliki harta sepenuh bumi, walaupun kehormatan dia melebihi awan, sekalipun
dia telah mencapai puncak ilmu dan jabatan, maka sekali-kali tidak dapat
melepaskan tanggung jawab tersebut dari lehernya, tidak akan bisa dia
melepaskan tanggung jawab, dan tiada jalan bagi jiwanya untuk menyimpang
darinya. Maka bagaimana mungkin akan bahagia seseorang yang menyimpang dari fitrah
yang telah ditetapkan baginya?
Dalam
kehidupan berumah tangga inilah Aisyah menjadi guru bagi setiap wanita di
seluruh alam sepanjang sejarah. Beliau adalah sebaik-baik istri yang bergaul
dengan suaminya, mendatangkan kebahagiaan di hati suaminya dan menyingkirkan
apa-apa yang menyusahkannya di luar rumah berupa kesusahan hidup dan rintangan
tatkala berdakwah di jalan Allah.
Beliau juga
seorang istri yang paling baik jiwanya, pemurah, dan bersabar bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi kefakiran dan rasa
lapar hingga beberapa hari lamanya tidak terlihat asap roti ataupun masakanm.
Beliau berdua hidup dengan hanya memakan kurma dan air.
Tatkala
kemewahan dunia berpihak kepada kaum muslimin, pernah suatu ketika beliau
diberi seratus ribu dirham sedangkan beliau dalam keadaan shaum dan beliau
sedekahkan seluruhnya hingga tak ada suatu apapun dirumahnya. Salah seorang
pembantunya berkata: “Jika masih ada maka belilah daging dengan satu dirham
kemudian anda berbuka dengannya!” maka beliau menjawab, “Seandainya engkau
berkata sejak tadi niscaya akan aku berikan.”[3]
Kefakiran
tidak membuat beliau berkecil hati, dan kaya tidak membuat beliau congkak.
Beliau menjaga izzah jiwanya, sehingga menjadi remehlah dunia pada pandangan
matanya, beliau tidak peduli apakah dunia di hadapannya atau di belakangnya.
Beliau juga
merupakan istri terbaik yang memperhatikan ilmu dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga beliau pada puncak ilmu yang mana beliau menjadi
guru bagi kaum laku-laki. Dan mereka menjadikan beliau sebagai rujukan dalam
bidang hadits, sunnah dan fikih. Az-Zuhri berkata: “Seandainya ilmu Aisyah
dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama.” [4]
Hisyam bin
Urwah menceritakan dari ayahnya yang berkata: “Sungguh aku telah bertemu dengan
Aisyah, maka aku tidak mendapatkan seorangpun yang lebih pintar darinya tentang
Al Qur’an, hal-hal yang fardhu, sunnah, sya’ir, yang paling banyak
meriwayatkan, sejarah Arab, ilmu nasab, ilmu ini, ilmu itu dan ilmu kesehatan
(kedokteran), maka aku bertanya kepada beliau, “Wahai bibi….. kepada siapa anda
belajar tentang ilmu kedokteran?” Maka beliau menjawab, “Tatkala aku sakit,
maka aku perhatikan gejala-gejalanya dan aku mendengar dari orang-orang
menceritakan perihal sakitnya, kemudian aku menghafalnya.”[5]
Dari
Al-A’masy dari Abu Adh-Dhuha dari Masruq, kami bertanya kepada Masruq, “Apakah
Aisyah ahli dalam bidang fara’idh?” Maka beliau menjawab, “Demi Allah
sungguh aku melihat para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
terkemuka bertanya kepada beliau tentang fara’idh.” [6]
Bersamaan
dengan hal itu, beliau radhiallahu’anhu adalah seorang wanita yang memiliki
ghirah, bahkan beliau adalah istri Nabi yang paling tinggi ghirahnya terhadap
Nabi. Hal itu adalah merupakan tabiat seorang istri. Akan tetapi ghirahnya
masih pada tempat yang semestinya tidak sampai melewati batas penyimpangan yang
menimbulkan kemadharatan.
Di antara
kejadian yang paling penting dalam kehidupan Ummul Mukminin Aisyah
radhiallahu’anhu adalah peristiwa tentang fitnah yang buruk dan keji terhadap
beliau yang dikenal dengan “haditsul ifki” (berita dusta)[7], padahal tuduhan
tersebut sangat jauh dari beliau bahkan melebihi jauhnya antara langit dan
bumi. Yakni langit yang darinya turun keputusan hukum tentang bebasnya beliau
dari tuduhan keji tersebut yang mana ayat-ayat tersebut senantiasa kita baca
dan bernilai ibadah dengan membacanya hingga hari kiamat. Ujian tersebut
merupakan pelajaran yang berharga bagi wanita yang paling utama tersebut, dan
juga berisi pengisian yang bermanfaat bagi setiap wanita.
Tatkala
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit sepulang dari haji wada’ (haji
perpisahan/terakhir), dan beliau merasakan telah usailah perjalanan beliau
setelah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah, maka beliau berkata di saat
istri-istri beliau mengelilingi beliau: “Di mana giliran saya untuk bermalam
besok? ……dimana giliran saya besok lusa?” Seolah-olah beliau merasakan lama
sekali menanti giliran Aisyah. Maka hati para ummahatul mukminin -semoga Allah
meridhai- menyadari bahwa Rasulullah ingin melewati sakitnya di tempat yang
paling dia sukai. Maka mereka seluruhnya berkata: “Wahai Rasulullah
sesungguhnya kami telah menghadiahkan giliran kami kepada Aisyah.” [8]
Sehingga berpindahlah
kekasih Allah ini ke rumah istri yang dicintainya, sedangkan Aisyah senantiasa
berjaga untuk merawat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang
sakit dengan penuh kasih sayang walaupun harus ditebus dengan jiwanya, aku
tebus dirimu dengan jiwaku, bapakku dan ibuku ya Rasulullah. Tidak beberapa
lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan kepala
beliau berada di pangkuan Aisyah.
Ummul
mukminin Aisyah menuturkan saat-saat yang mengharukan tersebut: “Telah wafat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahku, pada saat hari dan giliran beliau
menginap di rumahku dan di atas pangkuanku. Ketika itu masuklah Abdurrahman bin
Abu Bakar yang sedang membawa siwak yang masih basah, Rasulullah memandangnya
seolah-olah menginginkannya, maka aku ambil siwak tersebut kemudian aku kunyah
dan aku bersihkan kemudian aku hendak membersihkan gigi beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam namun beliau menolaknya. Kemudian beliau membersihkan giginya
dengan cara yang sangat baik yang aku belum melihat sekalipun yang lebih baik
dari yang beliau kerjakan saat itu. Selanjutnya beliau mengarahkan pandangannya
kepadaku dan meletakkan kedua tangannya sedangkan aku turut mendo’akan beliau
sebagaimana do’a Jibril untuk beliau, begitupula Nabi berdo’a dengan do’a
tersebut tatkala sakit. Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berdo’a dengan do’a tersebut. Pandangan beliau kembali mengarah ke langit
kemudian bersabda: “Ar-Rafiiqul A’la, segala puji bagi Allah yang telah
mengumpulkan diriku dengan dirinya pada hari terakhir kehidupannya di
dunia.”[9]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di tempat dimana beliau wafat yakni di
rumah Aisyah. Kemudian sisa-sisa hidup beliau radhiallahu ’anha beliau isi
dengan mengajar para laki-laki dan wanita, dan turut mengisi lembaran sejarah
hingga beliau wafat yang telah dinantikannya pada malam Selasa tanggal 17
Ramadhan tahun 57 Hijrah di saat beliau berumur 66 tahun.[10]
Sepeninggal
beliau lahirlah generasi-generasi yang senantiasa meneliti celah-celah
kehidupan beliau semenjak berumur enam tahun hingga beliau sukses dalam
tarbiyah dan berhasil meraih teladan terbaik yang tidak pernah ada lagi di
dunia ini tokoh seperti beliau sejak empat belas abad lamanya.
Foot Note:
[1]
HR.al-Bukhari dan Muslim di dalam Shahihnya bahwa Amru bin Ash
radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapakah yang paling engkau cintai ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aisyah.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Dari golongan laki-laki ya Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Bapaknya ‘Aisyah.” Lihatlah dalam Shahih al-Bukhari
dalam bab: Keutamaan Shahabat Nabi tentang sabda yang berbunyi, “Seandainya aku
boleh mengambil kekasih…” [IV/19]. Diriwayatkan pula oleh Muslim pada Keutamaan
Shahabat tentang: Keutamaan Abu Bakar, no.2384. Hadits yang kuat ini
menohok hidung orang-orang Rafidhah (Syiah).
[2] HR.
Bukhari dan Muslim dalam shahihnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat dirimu dalam
mimpi selama tiga malam. Engkau datang bersama malaikat terbungkus dengan kain
sutra. Malaikat tersebut berkata, ‘Ini adalah istrimu!’ Kemudian aku singkap
kain tersebut ternyata engkau berada di dalamnya. Maka aku katakan,
‘Sesungguhnya menikahimu adalah perintah dari Allah.’ Lihat al-Bukhari
(VII/175] dalam Manaqibul Anshar pada bab: Pernikahan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aisyah. Juga dalam at-Tabir
pada bab: Melihat Wanita Tatkala BErmimpi pada bahasan “Pakaian Sutra Tatkala
Tidur.” Lihat pula dalam Shaih Muslim pada Fadha’ilush
Shahabah pada bab: Keutamaan Aisyah, no.2438.
[3] Lihat
al-Hakim dalam al-Mustadrak [IV/13] dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah
[II/48], Ibnu Sa’id dalam ath-Thabaqat [VIII/67].
Rijalnya tsiqah.
[4] Lihat al-Mustadrak
oleh al-Hakim pada bab: Ma’rifatush Shahabah [IV/11]. Dan al-Haitsami
dalam Majma’ az-Zawaid [IX/240]. Ia berkata, “Diriwayatkan
oleh ath-Thabari dan rijalnya tsiqah.
[5] Lihat Hilyatul
Auliya’ [II/49]. Rijalnya tsiqah.
[6]
HR.ad-Darimi dalam Sunannya [II/342] dan Ibnu Sa’id dalam ath-Thabaqat
[VIII/66] dan al-Hakim dalam al-Mustadrak [IV/11]
[7] Akan
kami bahas tentang haditsul ifki tersebut secara rinci dalam bab khsus sebagai
bantahan terhadap para orientalis.
[8]
Lihat Shahih Muslim kitab Fadha’ilush Shahabah pada
bab: Keutamaan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, no.2443.
[9] HR.Ahmad
dalam al-Musnad [VI/48], al-Hakim dalam Ma’rifatush
Shahabah [IV/7]. Ia berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat
Syaikhaini dan begitu pula menurut adz-Dzahabi.”
[10] al-Istii’ab
[IV/1885] dan Tarikh ath-Thabari Hawadits Sanah, 58 H.
Sumber:
“Mereka Adalah Para Shahabiyat [Nisaa’ Haular Rasul], Mahmud Mahdi al Istambuli
& Musthafa Abu An Nashir Asy Syalabi, Penerbit at-Tibyan, Hal.54-59.
0 komentar:
Posting Komentar