Adapun
Khadijah adalah seoarang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan yang pertama kali masuk Islam.[4] Beliau adalah seorang istri yang
mencintai suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi suami yang
dicintainya untuk menolong, menguatkan dan membantunya, serta menolong beliau
dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman,sehingga dengan hal itulah Allah
meringankan beban Nabi-Nya. Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak
disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau kecuali Allah
melapangkannya melalui istrinya bila beliau kembali kerumahnya. Beliau
(Khadijah) meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkannya dan
mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau. Dan ayat-ayat al
Quran juga meneguhkan Rasulullah. Firman-Nya:
“Hai
orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan
Rabb-Mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa
tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)
yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-Mu, bersabarlah!” [QS.al-Muddatssir:
1-7]
Sehingga sejak
saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh barakah
dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa
untuk tidur dan bersenang-senang telah habis. Khadijah turut mendakwahkan Islam
di samping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau-. Di
antara buah yang pertama adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat
putrinya -semoga Allah meridhai mereka seluruhnya-.
Mulailah
ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya, akan
tetapi Khadijah berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat.
Beliau wujudkan firman Allah Ta’ala:
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “kami beriman”,
sedangkan mereka tidak diuji lagi?” [QS. Al-Ankabut:1-2]
Allah
memilih kedua putranya yang bernama Abdullah dan Al-Qasim untuk menghadap Allah
tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Beliau
juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang
bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut
hingga jiwanya menghadap sang Pencipta dengan penuh kemuliaan.
Beliau juga
harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari
Utsman bin Affan karena putrinya hijrah ke negeri Habasyah untuk menyelamatkan
diennya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu
yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan, akan tetapi tidak ada istilah
putus asa bagi seorang mujahidah. Beliau laksanakan setiap saat apa yang
difirmankan oleh Allah Tabaraka wa ta’ala yang artinya:
“Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu
sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu
dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak menyakiti
hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu
termasuk urusan yang patut diutamakan.” [QS. Ali-Imran: 186].
Sebelumnya,
beliau juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya Al-Amin
Ash-Shadiq yang mana beliau berdakwah di jalan Allah, namun beliau menghadapi
segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin
bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan seluruh bujukan
kesenangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya. Dan pada
saat-saat itu beliau bersumpah dengan sumpah yang menunjukkan keteguhan dalam
menetapi kebenaran yang belum pernah di kenal orang sebelumnya dan tidak
bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut. Beliau bersabda:
“Demi Allah
wahai paman, seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, maka
sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku
yang binasa karenanya.”[5]
Begitulah
sayyidah mujahidah tersebut telah mengambil suaminya Rasulullah sebagai contoh
yang paling agung dan tanda yang paling nyata tentang keteguhannya di atas
iman. Oleh karena itu kita mendapatkan, tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan
pemboikotan mereka kepada kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik,
ekonomi, dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut
kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah,[6] Khadijah tidak ragu untuk
bergabung dengan kaum muslimin bersama kaumnya Abu Thalib dan beliau tinggalkan
kampung halaman tercinta untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama
Rasul dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan
yang penuh dengan kesusahan, dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah
berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan yang telah beliau hadapi denga iman,
tulus, dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah
mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di saat berumur
65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu
Thalib, kemudian menyusul pula seorang mujahidah yang sabar semoga Allah
meridhoi beliau, yakni tiga tahun sebelum hijrah.[7]
Dengan wafatnya
Khadijah maka meningkatllah musibah yang Rasul hadapi. Karena bagi Rosulullah,
Khadijah adalah teman yang tulus dalam memperjuangkan Islam.[8]
Begitulah nafsul
muthmainnah telah pergi menghadap Rabb-nya setelah sampai pada waktu yang
telah ditetapkan, setelah beliau berhasil menjadi teladan terbaik dan paling
tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad di jalan-Nya. Dalam
hubungannya beliau menjadi seorang istri yang bijaksana, maka beliau mampu
meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya, dan mencurahkan segala kemampuannya
untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak
mendapatkan salam dari Rabb-nya, dan mendapat kabar gembira dengan rumah di
surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan di dalamnya [9] dan tidak ada
pula keributan di dalamnya. Karena Rasulullah bersabda yang artinya :
“Sebaik-baik
wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti
Khuwailid.”[10]
Ya Allah
ridhailah Khadijah binti Khuwailid, as-Sayyidah Ath-Thahirah. Seorang istri
yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa
yang dimiliknya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang
paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.
Foot Note:
[4] as-Sirah
an-Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam [1/257]
[5] as-Sirah
an-Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam [1/385]
[6] as-Sirah
an-Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam [1/375] dan tarikh ath-Thabari [II/228]
[7]
al-Ishabah [VIII/62] dan Siyaru A’lam an-Nubala’ [II/117]
[8] as-Sirah
[II/57] dan Tarikh ath-Thabari [II/229]
[9] Lihatlah
teks hadits tersebut dalam Shahih al-Bukhari tentang keutamaan shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab: Pernikahan Nabi dengan Khadijah dan
keutamaannya [IV/231]. Dan Muslim tentang “Keutamaan Sahabat” pada bab:
Keutamaan Khadijah Ummul Mukminin no.2432.
[10]
HR.al-Bukhari tentang Keutamaan Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bab: Pernikahan Nabi dengan Khadijah dan keutamaannya [IV/230]. Dan Muslim
tentang “Keutamaan Sahabat” pada bab: Keutamaan Khadijah Ummul Mukminin no.2430
Sumber:
Disalin ulang dari buku “Mereka Adalah Para Shahabiyat [Nisaa’ Haular Rasul],
Mahmud Mahdi al Istambuli & Musthafa Abu An Nashir Asy Syalabi, Penerbit
at-Tibyan, Hal.41-49.
0 komentar:
Posting Komentar