(Wafat 44 H)
Dalam
perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang
berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana,
ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya
kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian
hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia
tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga
suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup
di negeri asing sampai wafat?
Allah tidak
akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar
penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau
rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang
berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama
daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang
yang beriman.
Keistimewaan
Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai
putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap
dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
Masa Kecil
dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu Habibah
dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi
Wassalam dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams.
Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil
Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu
Utsman bin Affan rhadiyallahu ‘anhu. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki
kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat
cantik.
Pernikahan,
Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika usia
Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan
Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh
memegang agama Ibrahim ‘alaihissalam. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan
judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya
telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti
kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit
keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim ‘alaihissalam.
Sementara
itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru,
yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya.
Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya
memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam
bersamanya.
Mendengar
misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang
terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk
berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya,
Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan
berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus
mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah
tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir
yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah
berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama
mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat
dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal
mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di
Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke
Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang
musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin.
Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa
tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan
cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum
habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum
muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit
demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah
mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi
manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah,
keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu
Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani,
dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama
Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu
baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat,
namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman
keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah,
Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke
Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri
dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk
keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam
Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa
terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kemurtadan suaminya.
Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya,
Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan
seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara
keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung
dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita
yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.
Menjadi
Ummul-Mukminin
Rasulullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang
berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau
Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan
Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk
dan berniat menikahinya.
Ummu Habibah
menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku
melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin.
Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia
melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari
seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah,
seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada
pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat
agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar
gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk
seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash
sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang
ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku
karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna
Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita
pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu
Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di
antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu
‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
Hidup
bersama Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam
Rasululullah
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan
membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri
mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang
Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka
mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar.
Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah
kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka
cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke
dalarn rumah, yang ketika itu bersamaan juga dengan pernikahan beliau dengan
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar
yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya.
Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat
dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan
hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan
konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada
riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa
cemburu.
Posisi yang
Sulit
Telah kita
sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara
istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika
Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika
harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang
Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah
bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah
terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal
itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan
dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum
muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani
Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum
muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal
dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan
Rasulullah.
Sesampainya
di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih
dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk
kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada
di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah.
Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu
Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak
berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat
itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu
Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata,
“Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau
rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk
Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka
engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan
pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk
menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah
menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim
menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat
hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.
Allah
mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan
tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan
ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas
sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat
kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerima ajakan tersebut dan
menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah,
meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas
kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat
suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau
menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat.
Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang
siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah
menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik
untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.
Akhir sebuah
Perjalanan
Setelah
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di
rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak
berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki
posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat
sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak
meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat.
Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah
bersabda,
“Barang
siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan
membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidak
pernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi
Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah
wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya
dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya
kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah.
Amin.
Sumber :
Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh via
http://shalihah.com
0 komentar:
Posting Komentar