Penulis
: Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran
Kecantikan
dan kemuliaan berpadu dalam dirinya. Cinta, kesetiaan dan ketaatannya pada
pendamping hidupnya membawanya untuk memperoleh sebentuk doa. Doa yang berbuah
keindahan hidup tiada tara, bersisian dengan hamba Rabb-nya yang paling mulia.
Hindun bintu
Abi Umayyah bin Al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin
Murrah Al-Qurasyiyyah Al-Makhzumiyyah radhiyallahu ‘anha. Dia lebih
dikenal dengan kunyahnya, Ummu Salamah.
Dia seorang
istri yang penuh cinta bagi suaminya, Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdil Asad bin
Hilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b
Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beratnya cobaan dan gangguan,
mereka meninggalkan negeri Makkah menuju Habasyah untuk berhijrah, membawa
keimanan. Di negeri inilah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha melahirkan
anak-anaknya, Salamah, ‘Umar, Durrah dan Zainab.
Tatkala
terdengar kabar tentang Islamnya penduduk Makkah, mereka pun kembali bersama
kaum muslimin yang lain. Namun, ternyata semua itu berita hampa semata, hingga
mereka pun harus beranjak hijrah untuk kedua kalinya menuju Madinah. Di sanalah
mereka membangun hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Selang
beberapa lama di Madinah, seruan perang Badr bergema. Abu Salamah radhiyallahu
‘anhu masuk dalam barisan para shahabat yang terjun dalam kancah
pertempuran. Begitu pula ketika perang Uhud berkobar, Abu Salamah radhiyallahu
‘anhu ada di sana, hingga mendapatkan luka-luka.
Tak lama
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berdampingan dengan kekasihnya, karena
Abu Salamah harus kembali ke hadapan Rabb-nya akibat luka-luka yang
dideritanya. Ummu Salamah melepas kepergian Abu Salamah pada bulan Jumadits
Tsaniyah tahun keempat Hijriyah dengan pilu. Dia mengatakan, “Siapakah yang
lebih baik bagiku daripada Abu Salamah?”
Berulang
kali dia berucap demikian, hingga akhirnya diucapkannya doa yang pernah
diajarkan oleh kekasihnya, Abu Salamah, jauh hari sebelum Abu Salamah tiada.
Kala itu, Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku telah mendengar bahwa
seorang wanita yang suaminya tiada, dan suaminya itu termasuk ahli surga,
kemudian dia tidak menikah lagi sepeninggalnya, Allah mengumpulkan mereka
berdua di surga. Mari kita saling berjanji agar engkau tidak menikah lagi
sepeninggalku dan aku tidak akan menikah lagi sepeninggalmu.” Mendengar
perkataan istrinya, Abu Salamah mengatakan, “Apakah engkau mau taat kepadaku?”
Kata Ummu Salamah, “Ya.” Abu Salamah berkata lagi, “Kalau aku kelak tiada, menikahlah!
Ya Allah, berikan pada Ummu Salamah sepeninggalku nanti seseorang yang lebih
baik dariku, yang tak akan membuatnya berduka dan tak akan menyakitinya.”
Waktu terus
berjalan. Ummu Salamah pun telah melalui masa ‘iddahnya sepeninggal Abu
Salamah. Datang seorang yang paling mulia setelah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu untuk
meminang Ummu Salamah. Namun Ummu Salamah menolaknya. Setelah itu, datang pula
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, menawarkan pinangan pula ke
hadapan Ummu Salamah. Kembali Ummu Salamah menyatakan penolakannya.
Ternyata
Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menganugerahkan sesuatu yang lebih
besar daripada itu semua. Datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, membuka pintu baginya untuk memasuki
rumah tangga nubuwwah. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjawab tawaran
itu, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang sudah cukup
berumur, dan aku memiliki anak-anak yatim, lagi pula aku wanita yang sangat
pencemburu.” Dari balik tabir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menanggapi, “Adapun masalah umur, sesungguhnya aku lebih tua darimu. Adapun
anak-anak, maka Allah akan mencukupinya. Sedangkan kecemburuanmu, maka aku akan
berdoa kepada Allah agar Allah menghilangkannya.”
Tak ada lagi
yang memberatkan langkah Ummu Salamah untuk menyambut uluran tangan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam. Bulan Syawwal tahun keempat setelah hijrah adalah
saat-saat yang indah bagi Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, mengawali
hidupnya di samping seorang yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam.
Berita
tentang kecantikan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha sempat meletupkan
kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ketika itu ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha sangat bersedih. Dia menahan diri sampai memiliki kesempatan melihat
Ummu Salamah. Tatkala datang kesempatan itu, ‘Aisyah melihat kecantikan Ummu
Salamah berkali lipat daripada gambaran yang sampai padanya. Dia beritahukan
hal itu kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha. Hafshah pun menjawab, “Tidak,
demi Allah. Itu tidak lain hanya karena kecemburuanmu saja. Dia tidaklah
seperti yang kaukatakan, namun dia memang cantik.” ‘Aisyah pun mengisahkan,
“Setelah itu, aku sempat melihatnya lagi dan dia memang seperti yang dikatakan
oleh Hafshah.”
Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha memulai rangkaian kehidupannya di sisi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam. Banyak rentetan peristiwa dilaluinya bersama beliau. Satu
dialaminya dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Kala itu,
pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam setelah hijrah, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersama seribu empat ratus orang muslimin ingin menunaikan
‘umrah di Makkah sembari melihat kembali tanah air mereka yang sekian lama
ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha turut menyertai perjalanan
beliau ini. Namun setiba beliau dan para shahabat di Dzul Hulaifah untuk
berihram dan memberi tanda hewan sembelihan, kaum musyrikin Quraisy menghalangi
kaum muslimin. Dari peristiwa ini tercetuslah perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian
itu di antaranya berisi larangan bagi kaum muslimin memasuki Makkah hingga
tahun depan. Betapa kecewanya para shahabat saat itu, karena mereka urung
memasuki Makkah.
Usai
menyelesaikan penulisan perjanjian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam pun memerintahkan kepada para shahabat, “Bangkitlah, sembelihlah
hewan kalian, kemudian bercukurlah!” Namun tak satu pun dari mereka yang
bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi perintahnya
hingga ketiga kalinya, namun tetap tak ada satu pun yang beranjak. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah pun memberikan
gagasan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar mereka
melakukannya? Bangkitlah, jangan berbicara pada siapa pun hingga engkau
menyembelih hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambutmu.”
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam berdiri, kemudian segera melaksanakan usulan Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha. Seketika itu juga, para shahabat yang melihat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallammenyembelih hewannya dan menyuruh seseorang untuk mencukur
rambutnya serta merta bangkit untuk memotong hewan sembelihan mereka dan saling
mencukur rambut, hingga seakan-akan mereka akan saling membunuh karena riuhnya.
Semenjak
bersama Abu Salamah radhiallahu ‘anhu, Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha meraup banyak ilmu. Terlebih lagi setelah berada dalam naungan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, di bawah bimbingan nubuwwah,
Ummu Salamah mendulang ilmu. Juga dari putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, Fathimah radhiyallahu ‘anha. Ummu Salamah menyampaikan apa
yang ada pada dirinya hingga bertaburanlah riwayat dari dirinya. Tercatat
deretan panjang nama-nama ulama besar dari generasi pendahulu yang mengambil
ilmu darinya. Dia termasuk fuqaha dari kalangan shahabiyah.
Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha telah melalui rentang panjang masa hidupnya dengan
menebarkan banyak faidah. Masa-masa kekhalifahan pun dia saksikan hingga masa
pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Pada masa inilah terjadi pembunuhan cucu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Ummu Salamah sangat berduka mendengar
berita itu. Dia benar-benar merasakan kepiluan. Tak lama setelah itu, Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha kembali menghadap Rabb-nya. Tergurat
peristiwa itu pada tahun keenam puluh satu setelah hijrah.
Terkenang
selalu kesetiaan yang pernah dia berikan bagi pendamping hidupnya. Terngiang
selalu sebutan namanya dalam kitab-kitab besar para ulama. Ummu Salamah, semoga
Allah meridhainya…
Wallahu
ta’ala a’lamu bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar