Ummul
mukminin Zainab binti Jahsy bin Rabab bin Ya`mar. Ibu beliau bernama Umayyah
binti Muththalib paman dari paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada mulanya nama beliau adalah Barra’, namun tatkala diperistri oleh
Rasulullah beliau diganti namanya dengan Zainab.[52]
Tatkala
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melamarnya untuk budak beliau yakni
Zaid bin Haritsah (kekasih Rasulullah dan anak angkatnya), maka Zainab dan juga
keluarganya tidak berkenan. Rasulullah bersabda kepada Zainab, ‘Aku rela
Zaid menjadi suamimu.” Maka Zainab berkata, “Wahai Rasulullah akan tetapi
aku tidak berkenan jika dia menjadi suamiku, aku adalah wanita terpandang pada
kaumku dan putri pamanmu, maka aku tidak mau melaksanakannya. Maka turunlah
firman Allah:
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (QS. al-Ahzab: 36).
Akhirnya
Zainab mau menikah dengan Zaid karena taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya,
konsekuen dengan landasan Islam yaitu tidak ada kelebihan antara satu orang
dengan orang yang lain melainkan dengan takwa.
Akan tetapi
kehidupan rumah tangga tersebut tidak harmonis, ketidakcocokkan mewarnai rumah
tangga yang terwujud karena perintah Allah yang bertujuan untuk menghapus
kebiasaan-kebiasaan dan hukum-hukum jahiliyah dalam perkawinan.
Tatkala Zaid
merasakan betapa sulitnya hidup berdampingan dengan Zainab, beliau mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan problem yang dihadapi dan
memohon izin kepada Rasulullah untuk menceraikannya. Namun beliau bersabda:
“Pertahankanlah
istrimu dan bertakwalah kepada Allah.”
Padahal
beliau mengetahui betul bahwa perceraian pasti terjadi, dan Allah kelak akan
memerintahkan kepada beliau untuk menikahi Zainab untuk merombak kebiasaan
jahiliyah yang mengharamkan menikahi istri Zaid sebagaimana anak kandung. Hanya
saja Rasulullah tidak memberitahukan kepada dia ataupun kepada yang lain
sebagaimana tuntutan syar`i, karena beliau khawatir manusia terlebih-lebih
orang-orang musyrik akan berkata bahwa Muhammad menikahi bekas istri anaknya.
Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya:
“Dan
(ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat
kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus
istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” sedang kamu menyembunyikan di dalam
hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih kamu takuti. Maka tatkala Zaid yang telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini (istri-istri anak-anak angkat
itu) apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. ” (QS. al-Ahzab:
37).
Al-Waqidi
dan yang lain menyebutkan bahwa ayat ini turun manakala Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan Aisyah tiba-tiba beliau pingsan.
Setelah bangun, beliau tersenyum seraya bersabda, “Siapakah yang hendak
memberikan kabar gembira kepada Zainab?”, kemudian beliau membaca ayat
tersebut. Maka berangkatlah seorang pemberi kabar gembira kepada Zainab untuk
memberikan kabar gembira kepadanya, ada yang mengatakan bahwa Salma pembantu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa kabar gembira tersebut.
Adapula yang mengatakan bahwa yang membawa kabar gembira tersebut adalah Zaid
sendiri.[53]Ketika itu beliau langsung membuang apa yang di tangannya
kemudian sujud syukur kepada Allah.
Begitulah,
Allah Subhanahu menikahkan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan Nabi-Nya
melalui ayat-Nya, tanpa wali, dan tanpa saksi, sehingga ini menjadi kebanggaan
Zainab di hadapan Ummahatul Mukminin yang lain. Beliau berkata, “Kalian
dinikahkan oleh keluarga kalian, akan tetapi aku dinikahkan oleh Allah dari
atas Arsy-Nya.” Dan dalam riwayat lain, “Allah telah menikahkanku di langit.”
Dalam riwayat lain, “Allah menikahkanku dari langit yang ketujuh. ” [54] Dan
dalam sebagian riwayat yang lain, “Aku lebih mulia dari kalian dalam hal wali
dan yang paling mulia dalam hal wakil, kalian dinikahkan oleh orang tua kalian
sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari langit yang ketujuh. [55]
Zainab
radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita shalihah, bertakwa dan tulus imannya,
hal itu dinyatakan sendiri oleh Sayyidah Aisyah tatkala berkata, “Aku tidak
melihat seorangpun yang lebih baik diennya dari Zainab, lebih bertakwa kepada
Allah, dan paling jujur perkataannya, paling banyak menyambung silaturrahim,
dan paling banyak shadaqah, paling bersungguh-sungguh dalam beramal dengan
jalan shadaqah dan taqarrub kepada Allah A.” [56]
Beliau
radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita yang mulia dan baik. Beliau
bekerja dengan kedua tangannya, beliau menyamak kulit dan menyedekahkannya di
jalan Allah yakni beliau bagi-bagikan kepada orangorang miskin. Tatkala Aisyah
mendengar berita wafatnya Zainab beliau berkata, “Telah pergi wanita yang mulia
dan rajin beribadah, menyantuni para yatim dan para janda.” Kemudian beliau
berkata:
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para istrinya:
“Orang yang
paling cepat menyusulku di antara kalian adalah yang paling panjang tangannya…”
Maka apabila
kami berkumpul, sepeninggal beliau kami mengukur tangan kami di dinding, untuk
mengetahui siapakah yang paling panjang tangannya di antara kami. Hal itu kami
lakukan terus hingga wafatnya Zainab binti Jahsy, kami tidak mendapatkan yang
paling panjang tangannya di antara kami. Maka ketika itu barulah kami
mengetahui bahwa yang dimaksud dengan panjang tangan adalah banyak sedekah.
Adapun Zainab bekerja dengan tangannya menyamak kulit kemudian dia sedekahkan
di jalan Allah .[57]
Ajal
menjemput beliau pada tahun 20 Hijriyah pada saat berumur 53 tahun. Amirul
mukminin Umar bin Khaththab, turut menshalatkan beliau. Penduduk Madinah turut
mengantarkan jenazah Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy hingga ke Baqi’. Beliau
adalah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali wafat
setelah wafatnya Rasulullah . Semoga Allah merahmati wanita yang paling mulia
dalam hal wali dan wakil, dan yang paling panjang tangannya.
Foot Note:
[52]. Shahih
Muslim, no. 2143 pada kitab Adab tentang: Dianjurkan
Mengganti Nama yang Buruk Menjadi Baik dan Perubahan Nama Barra’ Menjadi Zaenab
dan Juwairiyah.
[53] Lihat Shahih
Muslim pada kitab an-Nikah bab: Pernikahan Zaenab binti
Jahsy, Turunnya Perintah Hijab dan Diperintahkannya Walimatul ‘Urs, no.
1428. An-Nasa’i pada kitab an-Nikah bab: Do’a Seorang Wanita
Apabila Dipinang (VI/79).
[54] HR.
al-Bukhari dalam at-Tauhid pada bab: Dan Adalah ‘Arsy-Nya Di atas
Air (VIII/176) dan dalam Tafsir Surat al-Ahzdab. At-Tirmidzi
dalam at-Tafsir pada bab: Di Antara Surat al-Ahdzab, no. 3212.
Dan an-Nasa’i dalam bab: Do’a Seorang Wanita Apabila Dipinang (VI/80).
[55] Thabaqat
Ibnu Sa’ad (VIII/73), al-Istii’ab (IV/1851) dan al-Ishabah
(VIII/192).
[56] As-Samthuts
Tsamin no. 110, al-Istii’ab (IV/1851) dan al-Ishabah
(VIII/93).
[57] HR.
Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIII/108) dan
al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/25) dan dishahihkan serta
disetujui oleh adz-Dzahabi. Muslim juga meriwayatkan yang seperti hadits ini
dalam Fadha’ilush Shahabah pada bab: Keutamaan Ummu Salamah Ummul
Mukminin, no. 2452.
Sumber:
“Mereka Adalah Para Shahabiyat [Nisaa’ Haular Rasul], Mahmud Mahdi al Istambuli
& Musthafa Abu An Nashir Asy Syalabi, Penerbit at-Tibyan, Hal.76-79
0 komentar:
Posting Komentar