Tidak ada yang indah
yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai seperti
halnya pernikahan,” begitulah Rasullah saw. bersabda. Rasanya, tidak perlu
pembuktian yang panjang lebar betapa indahnya pernikahan di mata orang-orang
yang saling mencintai. Sepanjang sejarah umat manusia, banyak peristiwa
mengharukan karena basarnya keinginan orang mencintai untuk menikah.
Bila telah tiba waktunya, kesibukan
kuliah tidak dapat menghalau kebutuhan untuk hidup bersama orang lain sebagai
suami istri. Tuntutan nurani itu akan memanggil-manggil kita setiap saat. Bukan
karena ingin menjaga diri agar hati tidak terkotori oleh bayangan-bayangan yang
membuat keruh perasaaan, melainkan karena hubungan intim yang terlanjur
dilakukan.
Misalnya sebuah kisah yang sering
terjadi di kalangan terdekat kita, sahabat dan teman-teman. Mereka tiba-tiba
memutuskan nikah dikarenakan mereka sudah terlanjur berbuat dosa dan cara
satu-satunya dengan menikah. Tapi mengapa ketika masih “bisa menjaga diri”
senantiasa menolak anjuran untuk menyegerakan menikah, dengan alasan klise
“nikah’kan tidak cukup bermodal cinta dan cita-cita”? mengapa ketika bencana
belum terjadi selalu mengedepankan alasan ekonomi? Sebab, dengan ekonomi yang
mapan, akan bisa membangun rumah tangga yang lebih baik.
Masalah lain adalah kecenderungan pada
sebagian sauadara kita, terutama akhwat, untuk meninggikan kriteria. Padahal
kesudahan sikap ini tidak jarang yang akhirnya membuat mereka membanting harga
ketika menjelang usia 30 tahun tak kunjung datang pinangan. Begitu juga ikhwan
yang hendakmenikah. Sikap terlalu meninggikan kriteria justru potensial
menyebabkan rumah tangga tidak berjalan dengan baik karena yang kita persiapkan
adalah menerima kebaikan, bukan sama-sama menata rumah tangga untuk saling
memperbaiki diri.
Sepele, tetapi tidak boleh disepelekan
adalah masalah nazhar atau melihat orang yang akan dipinang. Banyak masalah
yang berawal dari disepelekannya masalah nazhar ini. Sebagian ustadz
menganjurkan tidak melakukan nazhar hanya karena berangkat dari pengalamannya
sendiri, tanpa memperhatikan kondisi orang dibawah asuhannya. Akibatnyam begitu
menikah, timbullah kekecewaan.
Ada beberapa hal yang harus kita ketahui
sebelum memasuki pernikahan
A. Bekal ilmu
Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada
istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami,
dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita
lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada
istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang
bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah
ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar
yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita
harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang.
B. Kemampuan memenuhi tanggung jawab
Banyak tanggung jawab yang harus
dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat
sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban member pakaian kepada
istrinya bila ia berpakaian, member makan bila ia makan, dan menyediakan tempat
tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula
untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak
menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih
ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan
yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang
berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi
tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu.
Dan masih banyak lagi tanggung jawab
yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus
kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal
tanggung jawab dalam pernikahan.
C. Kesiapan menerima anak
Menyegerakan menikah berbeda dengan
tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan
sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan
(sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi
persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal
boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah
tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak
hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya,
saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak
siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya
memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan
mereka sebagai lawan jenis.
D. Kesiapan psikis
Umumnya mereka yang bangkit semangat
keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai.
Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social
ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal
dari kalangan social ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini
dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak
memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang
bener-bener berbeda dari keluarganya.
Mereka membayangkan indahnya pernikahan,
kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekuarangan-kekurangan dari orang yang
kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami
tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah
radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang
pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan istri seperti Khadijah, tetapi
tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya.
Kesiapan psikis untuk berumah tangga
juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi
pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi
terhadap kekuarangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan
tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki.
Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga
secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan
dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan
perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar
pada diri seorang suami.
Persoalan lain yang kadang menjadi benih
yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naïf dari sebagian
saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka
membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat,
memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan
tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu. Cara berpikir
kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa
yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri
untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh
kesah yang terucap dan kekesaln yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka
menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa
saat memasukinya.
E. Kesiapan Ruhiah
Sebenarnya, hanya dengan berbekal
kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika
seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah
menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan
serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih
atas setiap kebaikan yang diterumanya sekecil apapun nilainya.
Sekalipun bekal ilmu masih sangat
kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi.
Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa
tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya,
akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada
rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya
muskhil.
Apabila ia marah, ia tidak sampai
terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang
yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb
yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa
yang dimaksud dengan kesiapah ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk
kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya
telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka
terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai
tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.
Sebaliknya, seseorang yang banyak
memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka
mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan
kadar pengetahuannya tentang agama.
Jadi, jika kita sudah merasa gelisah
jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi,
inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Jika anda sudah mulai tidak tenang saat
sendirian, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat
melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang
meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang:
alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.
Nb: segera menikah asal telah cukup umur
dan siap segalanya.
Referensi : buku “saatnya untuk
menikah”, M.Fauzil Adhim.
sumber :
http://asmarie.blogdetik.com/2010/03/06/apakah-kita-sudah-siap-menikah/
0 komentar:
Posting Komentar